Kebebasan dalam berpakaian sudah menjadi hak setiap orang karena termasuk ke dalam kebebasan berekspresi. Contoh, seorang perempuan memilih untuk mengenakan pakaian muslim sebagai ketaatan pada Tuhan dan agamanya atau perempuan yang mengenakan jersey futsal sebagai tanda bahwa dia ingin bermain futsal.
Bangsa
yang merdeka berati seluruh warganya baik telah bebas dari segala bentuk
penjajahan dan penindasan. Realitanya masih banyak yang membudayakan budaya
patriarki sejak zaman penjajahan.
Tetapi
ketika kita melihat realitanya yang terjadi, negara Indonesia jauh dari kata
merdeka. Jikalau dikatakan merdeka itu adalah bebas berkehidupan dari segala
bentuk penindasan, saya rasa belum sepenuhnya benar-benar terwujud. Salah satu
di antara banyak hal adalah disebabkan oleh budaya patriarki sejak zaman
penjajahan yang masih melekat dan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.
Perempuan
masih menjadi sasaran eksploitasi, objek kasus kekerasan seperti pemerkosaan,
pelecehan seksual, KDRT, juga kasus inses.
Korban
dari stigma ini, lagi-lagi, perempuan. Kaum perempuan yang mengenakan pakaian
dengan menunjukkan belahan dada dan paha akan dicap murahan. Menggunakan
baju terlalu tertutup diasosiasikan dengan terorisme. Berpakaian girly dianggap
salah, tapi berpakaian terlalu boyis dibilang menyalahi kodrat. Salah satu bentuk
penindasan terhadap perempuan dimulai dengan mengecam apapun yang perempuan
pakai. Kami dibuat takut untuk memilih ekspresi yang kami suka dalam
ruang kebebasan kami.
Dalam
banyak kasus aksi pelecehan seksual, seringkali perempuan menjadi pihak yang
disalahkan karena dianggap cara berpakaiannya mengundang perhatian. Bukan
pakaiannya, tapi pelakunya yang harus kita perhatikan. Karena sepanjang
hidupnya, setiap perempuan pernah mengalami pelecehan seksual. Seharusnya pelaku
ditegur dan diingatkan, agar ia jera dan tidak mengulanginya lagi.
Dari
analisis data survei yang diikuti oleh lebih dari 62.000 orang, koalisi
menemukan fakta menarik yang membantah mitos-mitos yang beredar terkait
pelecehan seksual. Menurut hasil survei, mayoritas korban pelecehan tidak
mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual melainkan memakai
celana/rok panjang (18%), hijab (17%), dan baju lengan panjang (16%). Hasil
survei juga menunjukkan bahwa waktu korban mengalami pelecehan mayoritas
terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%), berbeda dari mitos yang
banyak dipercaya orang bahwa pelecehan seksual terjadi karena korban berada di
luar rumah pada malam hari.
Padahal seharusnya manusia Indonesia
dididik untuk memahami bahwa memperkosa dan melecehkan laki-laki ataupun
perempuan itu salah dan bahwa perempuan sama bermartabatnya dengan laki-laki.
Pelecehan dan pemerkosaan juga dialami oleh laki-laki, tapi lebih banyak
dialami perempuan karena lingkungan yang patriarkis.
Sungguh disayangkan bahwa dalam pola pikir masyarakat masih seperti itu adanya. Perlu ada gerakan edukasi tentang kebebasan berekspresi, terutama tentang berpakaian. Perempuan maupun laki-laki seharusnya bebas memilih untuk berjilbab atau tidak, mengenakan rok pendek atau panjang, mengenakan celana pendek atau panjang.
Oleh
karena itu, diperlukan pola pikir yang lentur dan mudah beradaptasi dengan
perubahan. Dalam melihat perempuan dan pakaiannya, masyarakat perlu membangun
paradigma baru bahwa pakaian bukanlah sekadar penutup tubuh tapi juga bagian
dari ekspresi yang terkait langsung dengan posisi perempuan sebagai manusia jalan
aktualisasi diri dan pengejaran kebahagiaan (pursuit of happiness).
Perempuan
ingin memiliki akses dan kesempatan yang setara untuk dapat melakukan segalanya
dan terbebas dari segala seksisme maupun misoginisme. Kaum perempuan juga ingin
ruang aman, terbebas dari kekerasan seksual dan ragam kekerasan berbasis gender
lainnya serta ditegakkanya undang-undang atau kebijakan yang menghapus
diskriminasi gender, dan dianggap setara tanpa harus bisa memenuhi
standard-standard maskulinitas toxic.