Selasa, 15 Maret 2022

Kebebasan Berpakaian Bagi Perempuan

Kebebasan dalam berpakaian sudah menjadi hak setiap orang karena termasuk ke dalam kebebasan berekspresi. Contoh, seorang perempuan memilih untuk mengenakan pakaian muslim sebagai ketaatan pada Tuhan dan agamanya atau perempuan yang mengenakan jersey futsal sebagai tanda bahwa dia ingin bermain futsal.

Bangsa yang merdeka berati seluruh warganya baik telah bebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Realitanya masih banyak yang membudayakan budaya patriarki sejak zaman penjajahan.

Tetapi ketika kita melihat realitanya yang terjadi, negara Indonesia jauh dari kata merdeka. Jikalau dikatakan merdeka itu adalah bebas berkehidupan dari segala bentuk penindasan, saya rasa belum sepenuhnya benar-benar terwujud. Salah satu di antara banyak hal adalah disebabkan oleh budaya patriarki sejak zaman penjajahan yang masih melekat dan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.

Perempuan masih menjadi sasaran eksploitasi, objek kasus kekerasan seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, juga kasus inses.

Korban dari stigma ini, lagi-lagi, perempuan. Kaum perempuan yang mengenakan pakaian dengan menunjukkan belahan dada dan paha akan dicap murahan. Menggunakan baju terlalu tertutup diasosiasikan dengan terorisme. Berpakaian girly dianggap salah, tapi berpakaian terlalu boyis dibilang menyalahi kodrat. Salah satu bentuk penindasan terhadap perempuan dimulai dengan mengecam apapun yang perempuan pakai. Kami dibuat takut untuk memilih ekspresi yang kami suka dalam ruang kebebasan kami.

Dalam banyak kasus aksi pelecehan seksual, seringkali perempuan menjadi pihak yang disalahkan karena dianggap cara berpakaiannya mengundang perhatian. Bukan pakaiannya, tapi pelakunya yang harus kita perhatikan. Karena sepanjang hidupnya, setiap perempuan pernah mengalami pelecehan seksual. Seharusnya pelaku ditegur dan diingatkan, agar ia jera dan tidak mengulanginya lagi.

Dari analisis data survei yang diikuti oleh lebih dari 62.000 orang, koalisi menemukan fakta menarik yang membantah mitos-mitos yang beredar terkait pelecehan seksual. Menurut hasil survei, mayoritas korban pelecehan tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual melainkan memakai celana/rok panjang (18%), hijab (17%), dan baju lengan panjang (16%). Hasil survei juga menunjukkan bahwa waktu korban mengalami pelecehan mayoritas terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%), berbeda dari mitos yang banyak dipercaya orang bahwa pelecehan seksual terjadi karena korban berada di luar rumah pada malam hari.

Padahal seharusnya manusia Indonesia dididik untuk memahami bahwa memperkosa dan melecehkan laki-laki ataupun perempuan itu salah dan bahwa perempuan sama bermartabatnya dengan laki-laki. Pelecehan dan pemerkosaan juga dialami oleh laki-laki, tapi lebih banyak dialami perempuan karena lingkungan yang patriarkis.

Sungguh disayangkan bahwa dalam pola pikir masyarakat masih seperti itu adanya. Perlu ada gerakan edukasi tentang kebebasan berekspresi, terutama tentang berpakaian. Perempuan maupun laki-laki seharusnya bebas memilih untuk berjilbab atau tidak, mengenakan rok pendek atau panjang, mengenakan celana pendek atau panjang.

Oleh karena itu, diperlukan pola pikir yang lentur dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Dalam melihat perempuan dan pakaiannya, masyarakat perlu membangun paradigma baru bahwa pakaian bukanlah sekadar penutup tubuh tapi juga bagian dari ekspresi yang terkait langsung dengan posisi perempuan sebagai manusia jalan aktualisasi diri dan pengejaran kebahagiaan (pursuit of happiness).

Perempuan ingin memiliki akses dan kesempatan yang setara untuk dapat melakukan segalanya dan terbebas dari segala seksisme maupun misoginisme. Kaum perempuan juga ingin ruang aman, terbebas dari kekerasan seksual dan ragam kekerasan berbasis gender lainnya serta ditegakkanya undang-undang atau kebijakan yang menghapus diskriminasi gender, dan dianggap setara tanpa harus bisa memenuhi standard-standard maskulinitas toxic.